Kebudayaan
Bugis seringkali digabungkan dengan kebudayaan Makassar, kemudian
disebut kebudayaan Bugis-Makassar. Kebudayaan tersebut mendiami bagian
terbesar jazirah selatan pulau Sulawesi. Di Sulawesi selatan terdiri
atas 15 suku, yakni Bugis, Makassar, Toraja, Mandar, Ulumanda, Bentong,
Bajo, Luwu, Kajang , Campalagian, Enrekang, Konjo, Duri, Maiwa, dan
Pannei. namun suku Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar yang memiliki
komunitas terbesar. sehingga seluruh suku tersebut dapat dikatakan
sebagai BANGSA BUGIS. Secara
etnologi, Bangsa Bugis merupakan keturunan Melayu Muda yang disebut
Deutro Melayu yang berasal dari India Belakang. mereka datang secara
bergelombang. Gelombang pertama adalah Melayu Tua yakni nenek moyang
suku Toraja. Gelombang kedua adalah Melayu Muda (Deutro melayu) yang
merupakan nenek moyang suku Bugis, Makassar, Mandar dan suku lainnya
selain suku Toraja. Suku Bugis menggunakan bahas pengantar Bahasa " Ugi "
dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya
dalam bentuk "Lontara". Huruf yang dipakai adalah "Aksara Lontara".
Kampung
kuno bangsa Bugis umumnya terdiri dari 10 samapai 200 rumah.
Rumah-rumah tersebut biasanya berderet menghadap Selatan atau Barat.
Jika ada sungai, maka rumah-rumah tersebut diupayakan membelakangi
sungai. Adapun pusat kampung yang lama atau induk kampung biasa disebut
"POSI TANA" yang biasanya tempat itu keramat dan tumbuh berdiri pohon
beringin yang besar dan rindang. kemudian Kawasan “Posi Tana” tersebut
berdiri satu rumah tempat pemujaan yang disebut "Saukang" dan suatu
kampung selain kawasan Posi tanah juga berdiri langgar atau Langkara'
yaitu masjid berukuran kecil. Pola perkampungan Bangsa Bugis pada
umumnya mengelompok padat dan menyebar. Pola kelompok banyak atau padat
banyak berdiri di dataran rendah, baik dekat pinggir laut, persawahan
atau kebun.Pola perkampungan Bangsa Bugis dapat dibedakan berdasarkan tempat pekerjaanmya, yaitu :
1. Pallaung Ruma (Kampung Petani), yaitu kawasan perkampungan tersebut didiami oleh masyarakat yang mata pencahariannya bertani.
2. Pakkaja (Kampung Nelayan), yaitu kawasan perkampungan tersebut didiami oleh masyarakat yang mata pencahariannya nelayan.
3.Matowa / Pangulu ( Kepala Kampung )
Selain pembagian berdasatkan tempat pekerjaannya di atas, pada Kampung Bugis juga terdapat pasar kampung, pekuburan, masjid atau mushallah. Bangsa Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang berkaitan dengan arsitektur. Pelapisan sosial tersebut seperti Anakkarung (Bangsawan/ningrat), To Maradeka (rakyat biasa), dan Ata (Hamba Sahaya).
Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, maka berdampak pula pada bentuk rumah kediamannya yang dibedakan dengan simbol, yaitu :
Selain pembagian berdasatkan tempat pekerjaannya di atas, pada Kampung Bugis juga terdapat pasar kampung, pekuburan, masjid atau mushallah. Bangsa Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang berkaitan dengan arsitektur. Pelapisan sosial tersebut seperti Anakkarung (Bangsawan/ningrat), To Maradeka (rakyat biasa), dan Ata (Hamba Sahaya).
Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, maka berdampak pula pada bentuk rumah kediamannya yang dibedakan dengan simbol, yaitu :
1.
Sao Raja atau Salassa, yakni rumah besar yang didiami oleh keluarga
Anakkarung (bangsawan). Rumah ini memiliki tiang dengan tangga beralas
bertingkat di bagian bawah kemudian menggunakan Sapana (atap di atasnya)
dengan bubungan rumah bertingkat tiga atau lebih.
2.Sao Piti yakni rumah agak kecil yang didiami oleh keluarga To maradeka tidak menggunakan sapana dan bubungannya hanya dua.
3.Bola (Rumah biasa), yakni rumah yang didiami oleh masyarakat umumnya.
Secara pola morfologinya, arsitektur tradisi Bangsa Bugis terdiri atas dua pola sebagai berikut :
A. POLA PENATAAN SPATIAL
2.Sao Piti yakni rumah agak kecil yang didiami oleh keluarga To maradeka tidak menggunakan sapana dan bubungannya hanya dua.
3.Bola (Rumah biasa), yakni rumah yang didiami oleh masyarakat umumnya.
Secara pola morfologinya, arsitektur tradisi Bangsa Bugis terdiri atas dua pola sebagai berikut :
A. POLA PENATAAN SPATIAL
Arsitektur
rumah bangsa Bugis pada umumnya tidak bersekat-sekat, tanpa serambi
yang terbuka. Tangga depan biasanya terletak dibagian pinggir. Didekat
tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah dinaungi
dengan atap kemudian di kiri atau kanan tangga terdapat pegangan untuk
menaiki rumah. Di depan pintu masuk terdapat "Tamping" semacam ruang
tunggu bagi tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah. Posisi "Tamping" ini biasanya agak lebih rendah dari lantai ruang utama rumah.
Menurut fungsinya rumah bangsa Bugis dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Rakkiang yaitu bagian atas rumah di bawah atap yang berfungsi sebagai tempat menyimpan padi atau jagung serta benda-benda pusaka dan kadang pula dijadikan tempat menyembunyikan calon pengantin perempuan dan tempat berdandan gadis pingitan
Menurut fungsinya rumah bangsa Bugis dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Rakkiang yaitu bagian atas rumah di bawah atap yang berfungsi sebagai tempat menyimpan padi atau jagung serta benda-benda pusaka dan kadang pula dijadikan tempat menyembunyikan calon pengantin perempuan dan tempat berdandan gadis pingitan
2. Ale Bola /Watampola,
yaitu terletak antara lantai dan loteng adalah ruang tinggal dan
dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus untuk menerima tamu,tidur, dan
makan.
3. Awaso,
yaitu kolong rumah yang terletak dibagian bawah antara lantai dengan
tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan
alat-alat pertanian dan hewan ternak.
Selanjutnya pembagian ruang atau "Latte" pada bangunan rumah bangsa Bugis dikelompokkan dalam tiga bagian antara lain :
1.
Latte Saliweng (Ruang Depan)yaitu berfungsi menerima tamu, tempat tidur
tamu, tempat musyawarah, tempat membaringkan mayat sebelum
dikebumikan,dan sebagai tempat berkomunikasi bagi orang luar yang sudah
diizinkan masuk. Sebelum memasuki ruangan ini maka orang luar (tamu)
diterima dahulu di "Tamping" atau ruang transisi.
2.
Latte Tengngah (Ruang tengah) yaitu berfungsi sebagai tempat tidur
kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan,tempat
melahirkan. kegiatan yang bersifai informal (kekeluargaan) bertempat
diruang ini.
3. Latte
Laleng (Ruang Dalam) berfungsi sebagai tempat tidur anak gadis dan
nenek/kakek. karena anggota keluarga ini dianggap perlu mendapat
perlindungan dari anggota keluarga.
Khusus untuk "Saoraja" ada tambahan dua ruangan lagi, yaitu :
1. Lego-lego
Berfungsi sebagai tempat duduk tamu sebelum masuk dan tempat meNononton bila ada acara di luar rumah.
2. Dapureng (Dapur) yaitu terletak dibelakang atau samping yang berfungsi untuk ruang memasak dan menyimpan peralatan masak
B. POLA PENATAAN STILISTIKA
1. Atap (Bakkaweng)
Penampakan bangunan tersusun dari beberapa bagian sesuai dengan fungsinya.
Bagian atas (Rakkiang) baik Saoraja (Untuk Rumah bangsawan) maupun Bola
(Rumah rakyat Biasa) terdiri dari loteng dan atap. Atapnya berbentuk
prisma, memakai tutup bubungan yang disebut "TIMPA' LAJA) memiliki
bentuk yang berbeda antara Saoraja dan Bola. Bagian ini merupakan
sebagai kepala bangunan. Pada Saoraja terdapat 'Timpa' Laja' yang
bertingkat-tingkat dari tiga sampai lima tingkat.Timpa' Laja yang
bertingkat lima menandakan rumah tersebut adalah kepunyaan bangsawan
tinggi. Timpa' Laja bertingkat empat adalah milik bangsawan yang
memegang kekuasaan dan jabatan. Bagi bangsawan yang tidak memiliki
jabatan pemerintahan, rumahnya hanya memilki tiga tingkat. Bagi rakyat
biasa dalam kelompok To Maradeka dapat juga memakai Timpa' Laja pada
rumahnya, tetapi hanya dibenarkan maksimal dua tingkat saja.
2. Pintu (Tange/Babang)
Berfungsi
untuk jalan keluar/masuk rumah. Tempat pintu biasanya selalu diletakkan
pada bilangan ukuran genap. Misalnya bila ukuran rumah 7 depa maka
pintu harus diletakkan pada depa yang ke-6 atau ke-4 diukur dari kanan
rumah. Apabila penempatan pintu ini tidak tepat pada bilangan genap
dapat menyebabkan rumah mudah untuk dimasuki pencuri atau penjahat
lainnya.
3. Jendela (Tellongeng)
Berfungsi
untuk ventilasi udara dan tempat melihat ke luar rumah. peletakannya
biasanya pada dinding diantara dua tiang bangunan rumah. Untuk
memperindah bagian bawah Jendela (Tellongeng) biasanya ditambahkan
hiasan berupa ukiran atau terali dari kayu dengan jumlah bilangan
ganjil. Jumlah terali dapat menunjukkan status penghuninya.Jika jumlah
terali 3-5 menunjukkan rakyat biasa dan jika 7-9 menunjukkan rumah
bangsawan
4. Hiasan (Belo-belo)
Ragam hias bangunan arsitektur Bangsa Bugis umumnya bersumber dari alam sekitar, biasanya berupa flora (Tumbuhan), fauna (Hewan), dan tulisan Arab atau kaligrafi.
Ragam
hias dari flora berupa sulur-sulur bunga yang menjalar biasanya
menggunakan teknik pahat tiga dimensi yang membentuk lubang terawang.
Bentuk demikian selain menampakkan keindahan karena adanya efek
pencahayaan yang dibiaskan juga dapat menyalurkan angin dengan baik.
Ragam
hias fauna biasanya berupa ayam jantan, kepala kerbau,dan tanduk rusa.
Ayam jantan dalam bahasa Bugis disebut "Manu' Lai'sebagai simbol
keberanian.Biasanya ditempatkan dipuncak bubungan rumah bagian depan
atau belakang.
Ragam
hias dari kepala kerbau melambangkan kekayaan dan status sosial.
Biasanya ditempatkan pada pucuk depan atau belakang bubungan untuk rumah
bangsawan.
Ragam
hias dari tanduk rusa digunakan untuk tempat menggantung songkok/topi
atau baju. Sedangkan ragam hias berupa kaligrafi biasanya ditempatkan
pada bangunan peribadatan atau Langgar/masjid.
C. POLA PENATAAN STRUKTUR
Bahan
bangunan utama yang banyak digunakan umumnya adalah kayu yang berasal
dari Ipi, Kayu Bitti', Cendana,besi, pohon kapok, pinang, batang enau,
Nangka, lontar, kelapa, dan ijuk. Dinding dari anyaman bambu atau papan.
Atap dari daun nipah, sirip atau seng.
Sistem
struktur menggunakan rumah panggung dengan menggunakan tiang penyangga
dan tidak menggunakan pondasi. rumah tradisional yang paling tua, tiang
penyangganya langsung ditanam di tanah. Adapun tahap yang paling penting
dalam sistem struktur bangunan rumah bangsa Bugis adalah pembuatan
"Alliri atau Tiang". Pembuatan tiang dimulai dengan membuat Posi Bola
(Tiang sebagai Pusat Rumah). Bila rumah terdiri dari dua petak maka
Tiang Pusat terletak pada baris kedua dari depan dan baris kedua dari
samping kanan. Bila tiga petak atau lebih maka letak Tiang Pusat pada
baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kanan.
Struktur rumah bangsa Bugis dapat dirinci sebagai berikut :
1. Untuk Saoraja minimal memiliki empat petak atau 25 kolom (lima-lima)
2. Untuk Bola memilki tiga petak atau 16 kolom
3. Terdapat
Posi Bola (Pusat Rumah) berupa tiang yang paling penting dalam sebuah
rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka atau durian, letaknya pada
deretan kolom kedua dari depan, dan kedua dari samping kanan.
4. Tangga
diletakkan di depan atau belakang biasanya dipasang di Lego-lego dan
arahnya sesuai dengan panjang rumah atau lebar rumah. Biasanya juga
terdapat tangga menuju Loteng atau Rakkiang
5. Atap berbentuk segitiga samakaki yang digunakan untuk menutup bagian muka atau bagian belakang rumah.
6. Salima/Dapara’ (Lantai) biasanya terbuat dari bahan bambu atau papan
7. Tellongeng (jendela) jumlahnya tujuh buah untuk bangsawan dan tiga buah untuk rakyat biasa.
8. Tange/Sumpang
(Pintu) menurut kepercayaan Bugis jika salah meletakkan dapat tertimpa
bencana. Untuk menghindari hal tersebut, maka pintu diletakkan dengan
cara sebagai berikut :Jika lebar rumah sembilan depa, maka pintu
diposisikan pada depa ke-8; artinya lebar rumah selalu ganjil dan pintu
diletakkan pada angka genap.
Semoga bermanfaat walau ilmu arsitektur semakin berkembang namun kita tidak etis jika melupakan warisan leluhur. bangsa yang besar adalah bangsa yang menjaga serta melestarikan warisan budayanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar